Dari Pekerja Harian ke Pengusaha Pertama di Keluarga
suksesjadipengusaha.web.id - Nama saya Andra, dan saya bukan berasal dari keluarga pengusaha. Ayah saya adalah buruh pabrik, ibu saya membuka warung kecil-kecilan di rumah. Tapi saya selalu punya keinginan untuk "punya usaha sendiri", meskipun waktu itu belum paham mau usaha apa.
Saya memulai dari bekerja di sebuah toko bahan bangunan sebagai staf gudang. Setiap hari melihat truk-truk masuk membawa barang, saya penasaran dari mana barang-barang itu berasal. Lama-lama saya paham: ternyata semua barang itu datang dari distributor, dan si pemilik toko membeli dalam jumlah banyak lalu menjual ke pelanggan kecil.
Dari situlah saya mulai berpikir: bagaimana kalau saya juga bisa jadi distributor suatu barang? Tapi saya sadar, modal saya sangat terbatas.
Menemukan Peluang dari Bahan Sisa
Ide pertama saya datang dari hal yang sangat sederhana: sisa potongan kayu yang sering dibuang oleh toko bangunan tempat saya kerja. Karena sering ikut bongkar muatan, saya tahu kayu-kayu itu sering terbuang padahal masih bisa dipakai.
Saya mulai mengumpulkan sisa kayu itu setiap hari. Awalnya orang mengira saya aneh, tapi saya terus melakukannya. Setelah sebulan, saya berhasil mengumpulkan cukup banyak untuk membuat beberapa rak sederhana. Dengan bantuan teman tukang, saya rakit dan jual di pasar loak.
Dari situ saya mulai belajar lebih dalam tentang dunia perkayuan dan mencari tahu lebih banyak tentang cara jadi pengusaha kayu. Situs-situs yang saya baca, termasuk pengalaman langsung pengusaha lokal di sana, memberi saya ide bahwa bisnis kayu sangat luas: dari limbah kayu, kayu palet, hingga kerajinan kecil.
Riset Pasar dengan Cara yang Sangat Praktis
Saya bukan ahli riset atau lulusan bisnis. Tapi saya percaya satu hal: kalau ingin tahu pasar, turun langsung.
Saya habiskan akhir pekan untuk berkeliling pasar tradisional dan sentra furnitur. Saya tanya-tanya ke penjual: produk mana yang laku, tren apa yang sedang naik, dan siapa saja yang membeli barang mereka. Jawaban mereka sangat berharga: rak kecil untuk dapur dan meja lipat adalah produk dengan perputaran tinggi.
Saya catat semuanya. Saya juga mulai mengamati harga kayu di pasaran dan belajar menghitung margin dari penjual-penjual lama. Dari situ saya tahu, usaha kecil bukan hanya tentang produksi, tapi juga distribusi dan efisiensi biaya.
Membangun dari Nol: Modal Terbatas Bukan Penghalang
Saya memulai usaha pertama saya dengan modal kurang dari Rp 3 juta, cukup untuk beli alat potong manual, lem kayu, dan sewa tempat kecil di rumah.
Saya tidak langsung membuat banyak produk. Saya mulai dari satu produk saja: rak dapur 3 tingkat dari kayu bekas palet. Modal per unit sekitar Rp 40 ribu, dan saya bisa menjualnya seharga Rp 120 ribu melalui media sosial dan marketplace.
Yang menarik, beberapa pembeli saya adalah pengusaha UMKM juga—mereka beli untuk dijual ulang. Dari situ saya sadar, pasar B2B (business-to-business) sangat potensial. Saya kemudian mulai menawarkan produk saya ke toko kecil, reseller, bahkan kafe.
Membangun Kredibilitas di Pasar
Salah satu kesalahan saya di awal adalah tidak mengembangkan branding. Orang mengenal saya sebagai “yang bikin rak dari kayu bekas”, tapi mereka tidak tahu nama usaha saya, apalagi siapa saya sebenarnya.
Setelah belajar dari komunitas pengusaha lokal dan membaca panduan dari beberapa situs, saya mulai membangun identitas usaha:
-
Membuat akun media sosial dengan logo dan nama usaha.
-
Menyertakan testimoni pelanggan di setiap unggahan.
-
Menyediakan nomor kontak yang bisa dihubungi kapan saja.
-
Membuat bio penjual yang mencantumkan pengalaman pribadi dan proses produksi.
Langkah ini sederhana tapi sangat berpengaruh. Setelah itu, saya sering diajak kerja sama untuk event pameran produk lokal dan diminta jadi narasumber di pelatihan UMKM.
Gagal dan Bangkit Lagi: Belajar dari Pengiriman yang Rusak
Pernah satu kali saya dapat pesanan 200 rak dari satu toko grosir di luar kota. Saya senang luar biasa dan bekerja keras memenuhi pesanan. Tapi karena saya kirim sendiri tanpa memahami sistem packaging yang tepat, hampir 40% dari barang itu rusak saat sampai.
Tentu saja saya malu dan rugi besar. Tapi saya tidak lari. Saya minta maaf, ganti semua kerusakan, dan belajar soal pengemasan. Sejak itu, saya kerja sama dengan jasa ekspedisi yang biasa menangani furnitur dan belajar teknik bubble wrap, packing kayu, dan cara stacking barang yang benar.
Ini adalah momen krusial yang membentuk kredibilitas usaha saya. Beberapa klien saya justru jadi loyal setelah melihat saya bertanggung jawab penuh atas kesalahan.
Mengembangkan Tim dan Sistem Produksi
Setelah satu tahun berjalan, saya sudah tidak sanggup menangani semuanya sendiri. Saya mulai merekrut 2 orang pekerja lepas dan 1 admin untuk membantu proses produksi dan pemasaran.
Saya juga mulai dokumentasikan semua proses:
-
Cara pemilihan bahan baku.
-
Langkah produksi per jenis produk.
-
Alur distribusi dan logistik.
Saya menulis semua itu dalam bentuk SOP sederhana. Tidak hanya membantu saya menjaga kualitas, tapi juga mempermudah ketika saya ingin ekspansi dan membuka cabang produksi kedua.
Adaptasi Digital: Dari Workshop ke Website
Saya menyadari tren pembeli berpindah ke digital. Selain berjualan di marketplace, saya juga mulai membuat website sederhana yang berisi:
-
Katalog produk lengkap
-
Profil usaha dan tim saya
-
Artikel blog seputar tips merawat furnitur kayu
-
Testimoni dan portofolio klien
Langkah ini memperkuat kehadiran saya secara online, dan saat saya ikut pelatihan SEO untuk UMKM, saya makin paham pentingnya konten yang menjawab search intent.
Contoh: banyak orang mencari “cara memilih rak dapur kayu minimalis” — saya buat konten blog khusus untuk topik itu, disertai produk saya sendiri sebagai contoh. Hasilnya? Trafik organik meningkat, konversi penjualan juga naik.
Kolaborasi Lokal: Mengangkat Produk Daerah
Salah satu langkah saya yang paling berdampak adalah bekerja sama dengan pengrajin lokal lainnya. Saya tawarkan untuk jadi distributor mereka di marketplace, dengan imbalan mereka bantu suplai bahan baku murah dan saling bantu promosi.
Saya tidak hanya menjadi pengusaha individu, tapi juga bagian dari ekosistem usaha kecil di daerah saya.

